Nasib 4 Nyawa Menggantung : Keluarga Korban Laka Kerja PT ASL Terhambat Birokrasi Polisi
BATAM – Empat bulan setelah tragedi kebakaran kapal tanker di galangan PT ASL Shipyard, Tanjunguncang, yang menewaskan empat pekerja dan melukai lima orang lainnya, proses hukum justru berjalan di tempat dan penuh kejanggalan. Alih-alih menuntaskan, penyidik Satreskrim Polresta Barelang justru dinilai melakukan sejumlah pelanggaran prosedur yang berpotensi menggagalkan penegakan hukum.
Setelah melalui gelar perkara internal, dua orang dari bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) PT ASL, berinisial A dan F, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, langkah ini diikuti oleh tindakan kontroversial, keduanya justru dibebaskan dengan mekanisme penangguhan penahanan. Yang lebih memprihatinkan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) hingga berita ini diturunkan belum juga disampaikan ke Kejaksaan.
Dampak Fatal Keterlambatan SPDP
Praktisi hukum Rachmaihut Damanik, SH, MH, atau yang akrab disapa Ihut, menegaskan bahwa mandeknya SPDP bukanlah persoalan sepele. “Ini menyangkut hak-hak hukum para pihak, terutama korban dan keluarga,” tegasnya kepada Republikbersuara.com, Sabtu (14/9/2025).
Ihut membeberkan lima dampak serius dari kelalaian ini:
1. Cacat Prosedural: Keterlambatan lebih dari tujuh hari sejak penetapan tersangka adalah cacat formil yang dapat dijadikan dasar pengajuan praperadilanoleh pengacara tersangka.
2. Pelanggaran Hukum: Penyidik jelas melanggar ketentuan batas waktu dalam KUHAP.
3. Penghambatan Peran Jaksa: Tanpa SPDP, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat mengawasi dan mengarahkan penyidikan, sehingga kasus berjalan tanpa kontrol.
4. Kurangnya Transparansi: Proses yang tertutup ini merusak kepercayaan publik terhadap keseriusan aparat mengusut tuntas kasus berkorban jiwa.
5. Ketidakpastian Hukum: Mandeknya SPDP mengaburkan proses hukum dan berisiko menyebabkan penyidikan dinyatakan batal demi hukum.
“Kalau SPDP mandek dapat menjadi dasar untuk praperadilan dan dapat menyebabkan penyidikan dianggap cacat secara formil,” pungkas Ihut.
Pembebasan yang Janggal
Ihut juga menyoroti langkah janggal penyidik yang membebaskan A dan F tanpa koordinasi jelas dengan Kejaksaan. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan hukum dan masyarakat.
“Pertanyaannya, mengapa SPDP tidak kunjung diselesaikan, tetapi tersangka justru dibebaskan? Padahal ini perkara serius dengan korban meninggal dunia. Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan transparan, bukan malah dibiarkan menggantung,” tegasnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik Batam dan Kepri. Desakan kuat mengalir agar Polresta Barelang di bawah pimpinan Kasat Reskrim Kompol M Debby Andristian segera memperbaiki langkah: mempercepat penyidikan, menyampaikan SPDP, dan memberikan penjelasan terbuka atas pembebasan kedua tersangka. Tanpa langkah tegas, bobroknya kepercayaan publik pada penegak hukum akan semakin parah.
Editor red./Don.
 

 0 Comments
0 Comments


Post a Comment